Pages

Rabu, 12 Februari 2014

Design Pembelajaran : menentukan Tujuan Instruksional Umum.

Pengertian Tujuan Instruksional Umum

Kegiatan belajar-mengajar atau kegiatan pengajaran sering juga disebut dengan istilah Instruksional. Dari istilah “instruksional” ini kemudian muncul istilah “tujuan instruksional”. Soemarsono dalam bukunya “Tujuan Instruksional”, – sebagaimana yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto – mendefenisikan tujuan instruksional sebagai tujuan yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur.[1] Selanjutnya tujuan instruksional ini dibagi menjadi dua macam, yaitu Tujuan Instruksional Umum (TIU), dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). 

Dalam bahasa Inggris terdapat sejumlah istilah yang menyatakan tujuan yang bersifat umum, seperti “aim”, “general purpose”, “goal”, dan sebagainya. Sedangkan dalam Prosedur Pengembangann Sistem Instruksional (PPSI) biasa disebut dengan Tujuan Instruksional Umum atau disingkat TIU.[2] Adapun yang dimaksud dengan Tujuan Instruksional Umumadalah suatu kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional untuk memperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh peserta didik, (yang mana) jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar.[3] Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tujuan Instruksional Umum hanya menggariskan hasil-hasil yang bersifat umum pada kegiatan belajar dari setiap mata pelajaran yang harus dicapai oleh setiap peserta didik.

Jika kita berbicara tentang tujuan umum, biasanya sering terjebak ke dalam kalimat indah dan muluk kedengarannya, tetapi akan menemui kesukaran bila hendak diwujudkan karena menimbulkan tafsiran yang aneka ragam menurut pandangan masing-masing. Misalnya tujuan: “menjadi manusia yang baik”, “yang bertanggungjawab”, “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”, “yang mengabdi kepada masyarakat”, dan sebagainya. Tujuan yang umum seperti itu sangat kabur dan tidak bisa diukur tingkat keberhasilannya, bahkan berpotensi melahirkan macam-macam tafsiran. Kita tidak tahu dengan jelas apa yang dimaksud dengan “baik”, “bertanggungjawab” atau “mengabdi kepada masyarakat”. Oleh sebab itu TIU harus dianalisis sebagai bersifat umum, dan karena itu tidak memberi pegangan yang mantap untuk menentukan bahan, strategi penyajian, maupun penilaian.[4] Untuk itu, Tujuan Instruksional Umum harus dijabarkan secara khusus ke dalam Tujuan Instruksional Khusus.

Dalam dunia pendidikan dikenal sejumlah usaha untuk menguraikan tujuan yang sangat umum ini. Salah seorang di antaranya ialah Herbert Spencer[5] (1860) yang menganalisis tujuan pendidikan dalam lima bagian yang berkenaan dengan:

1. Kegiatan demi kelangsungan hidup.

2. Usaha mencari nafkah.

3. Pendidikan anak.

4. Pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan negara.

5. Penggunaan waktu senggang.[6]


Hasil analisis Herbert Spencer di atas masih sangat umum dan perlu diuraikan lebih lanjut. Tokoh yang pertama berusaha memperinci tujuan pendidikan secara sistematis adalahFranklin Bobbitt[7]. Dalam bukunya How to Make a Curiculum (1924) ia mengemukakan cara yang sistematis tentang menentukan tujuan pendidikan, yakni dengan meneliti kegiatan-kegiatan manusia dewasa dalam kehidupan masyarakat. Ia menemukan 10 kelompok kegiatan utama yang banyak kesamaannya dengan penggolongan Herbert Spencer. Akan tetapi Franklin Bobbitt menguraikannya lebih lanjut menjadi 10 bidang yang lebih khusus. Usahanya itu dijuluki orang pada waktu itu sebagai permulaan “gerakan ilmiah” dalam pembinaan kurikulum, karena menurut pendapat mereka kurikulum serupa itu didasarkan atas penelitian. Dan sejak saat itu timbullah kurikulum dengan tujuan-tujuan yang lebih terinci. Setiap kurikulum diisertai oleh tujuan-tujuan khusus sebagai hasil analisis dari tujuan-tujuan yang lebih umum.[8] Namun meski begitu, analisis yang mereka lakukan belum sampai kepada taraf analisis dan rumusan tujuan khusus seperti yang dituntut dalam teknologi pendidikan sekarang yakni sebagai tujuan berbentuk perilaku peserta didik yang dapat diamati dan diukur keberhasilannya setelah memperoleh suatu pelajaran.

Adapun manfaat dalam menentukan tujuan instruksional; baik tujuan instruksional umummaupun khusus di antaranya:

1. Menentukan tujuan (objective) proses belajar mengajar

2. Menentukan persyaratan awal instruksional

3. Merancang strategi instruksional

4. Memilih media pembelajaran

5. Menyusun instrumen tes pada proses evaluasi (pre-tes dan post-tes)

6. Melakukan tindakan perbaikan atau improvement pembelajaran[9]



B- Kriteria Perumusuan Tujuan Instruksional Umum

Benjamin S. Bloom[10] membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan menurut jenis kemampuan yang tercantum di dalamnya. Tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berfikir disebut tujuan dalam kawasan kognitif. Yang termasuk dalam kawasan kognitif adalah kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi sesuatu. Adapun tujuan yang mempunyai fokus keterampilan melakukan gerak fisik disebut tujuan dalam kawasan psikomotor. Yang termasuk dalam kawasan psikomotor adalah kemampuan meniru melakukan suatu gerak, memanipulasi gerak, merangkaikan berbagai gerak, melakukan gerakan dengan tepat dan wajar. Sementara tujuan instruksional ketiga adalah kawasan efektif, yakni yang berintikan kemampuan bersikap.[11]

Tujuan instruksional dalam kawasan mana pun harus dirumuskan dalam kalimat dengan kata kerja dan opreasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Kalimat “Siswa akan dapat menjelaskan atau menguraikan sesuatu” lebih tepat digunakan daripada “Siswa dapat mengerti, memahami, atau mengetahui sesuatu”.



Perhatikan contoh di bawah ini:

1. Siswa akan dapat menggunakan dengan baik program Microsoft Office untuk membuat data dalam mata pelajaran Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK).

2. Siswa akan dapat menyusun rekapitulasi data adminstrasi keuangan dengan menggunakan program Microsoft Office.

3. Siswa akan dapat mendemonstrasikan lompat tinggi gaya flop (suatu lompat tinggi yang digunakan kebanyakan juara saat ini).

Ketiga contoh Tujuan Instruksional Umum (TIU) di atas masing-masing terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu:

1) Orang yang belajar.

Dalam kalimat-kalimat di atas orang belajar adalah siswa, bukan pengajar atau bukan orang lain. Tujuan memang harus berorientasi kepada siswa. Seringkali pengajar atau pengelola pendidikan yang lain membuat perumusan yang berorientasi kepada mereka sendiri sepertu dua contoh berikut:

1. Tujuan pelajaran ini adalah mengajarkan cara mengoperasikan Microsoft Office dalam membuat data pada komputer;

2. Program ini akan membahas secara mendalam tentang fungsi dan kegunaan program Microsoft Office dalam komputer.

Kedua contoh perumusan tujuan tersebut di atas tidak memperhatikan apa yang akan dicapai oleh siswa atau peserta didik. Keduanya dapat ditafsirkan bahwa sepanjang pengajar membahas atau mengajarkan pelajaran yang dimaksud atau program pengajaran berisi pelajaran tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun peserta didik belum dapat melakukan apa-apa.

2) Istilah yang digunakan adalah “akan dapat” bukan dapat atau sudah dapat.

Kalimat “akan dapat” menunjukkan bahwa tujuan instruksional dirumuskan sebelum peserta didik mulai belajar. Dan tujuan itu akan dicapai setelah proses belajar. Istilah “akan dapat” itu dihubungkan dengan kata kerja yang menunjukkan hasil belajar bukan kata kerja yang berorientasi kepada proses belajar seperti (siswa) mempelajar, membaca. Tujuan harus berorientasi kepada hasil belajar, bukan kepada proses belajar. Dengan demikian, bila ada perumusan tujuan yang berbunyi: “Siswa akan mempelajari teknik pengoperasian Microsoft Office dalam membuat data di Komputer”, dapat ditafsirkan bahwa sepanjang siswa telah melakukan proses tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun siswa belum berhasil “memahami” apa yang telah dipelajarinya sebagai suatu tujuan. Padahal yang penting bukanlah siswa telah melakukan proses belajar tertentu, tetapi menunjukkan hasil belajar tertentu.

3) Memilih kata kerja aktif dan dapat diamati.

Kata kerja dalam tujuan instruksional haruslah berbentuk kata kerja aktif dan dapat diamati, seperti menyusun, menggunakan atau mendemonstrasikan. Bandingkanlah dengan kata kerja memahami, mengetahui, dan merasakan yang tidak dapat diamati oleh mata serta tidak bisa diukur ketercapaiannya. Kata “mengetahaui” atau “memahami” dapat berarti “menjelaskan” atau dapat pula berarti “melakukan”. Kemampuan menjelaskan danmelakukan sangat besar bedanya. Karena itu, istilah “memahami” disebut tidak jelas dan tidak pasti karena berarti mengandung banyak pengertian, sehingga perlu dihindari.

4) Tujuan instruksional mengandung objek seperti penggunaan microsoft office, penyusunan data dalam microsoft office, dan lompat tinggi.

Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional yang berupa kata kerja dan objek adalah perilaku (behavior) yang diharapkan dikuasai peserta didik pada akhir proses belajarnya. Itulah sebabnya tujuan instruksional sering disebut tujuan yang bersifat prilaku (behavior objective). Ia disebut pula tujuan penampilan (performance objective) karena akan ditampilkan peserta didik setelah proses belajar.

Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional ini merupakan bagian yang sangat penting. Berdasarkan kedua bagian tersebut akan disusun tes dan strategi instruksional, termasuk metode, media, dan isi pelajaran. Karena itu, ketidakjelasan perumusan tujuan instruksional akan mengakibatkan ketidakjelasan dasar penyusunan komponen sistem instruksional yang lain. Di samping itu, kegiatan merumuskan tujuan instruksional merupakan salah satu wujud tanggungjawab seorang pengajar untuk dapat mengatakan atau orang lain menilai apakah ia berhasil atau belum berhasil mencapai tujuannya.[12]

Tujuan instruksional di samping berfungsi sebagai sesuatu yang akan dicapai, berfungsi pula sebagai kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional. Oleh karena itu, seorang pengajar yang merumuskan tujuan instruksionalnya sebelum mulai proses pengajaran dapat dipandang sebagai pengajar yang bersedia mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalannya dalam mengajar. Atas dasar kriteria itu pula seorang pengajar dapat menentukan kapan ia harus memperbaiki efektifitas pengajarannya.

Jika ada yang beranggapan bahwa seorang pengajar tidak perlu merumuskan tujuan, tapi cukup mengajar dengan sungguh-sungguh saja, kemudian lakukan tes atau evaluasi, maka ini merupakan anggapan yang keliru. Sebab, pengajaran tanpa perumusan tujuan instruksional secara jelas akan mempunyai implikasi tidak menentunya standar mutu pelajaan dan mutu lulusan program tersebut.

Tujuan instruksional umum (TIU) suatu mata pelajaran mungkin lebih dari satu, tetapi keduanya pasti berhubungan. Dalam hal seperti itu, TIU harus diurut dari perilaku yang harus atau sebaliknya dikuasai lebih dulu baru disusul dengan yang lainnya. Urutan ini akan menjadi petunjuk dalam menentukan urutan isi pelajaran/

Banyaknya TIU tergantung kepada kompleksitas dan ruang lingkup pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan dipelajari mahasiswa dalam mata pelajaran tersebut. Sebagai patokan umum mungkin sekitar 3 – 5 buah. Jumlah TIU yang terlalu banyak mungkin akan mengakibatkan sulitnya pengelolaan kegiatan instruksional. Walaupun demikian, tidak ada patokan yang dapat disetujui oleh semua orang tentang jumlah TIU ini.

Setelah merumuskan seluruh TIU tersebut dengan baik, maka selanjutkan seorang pengajar haruslah melakukan evaluasi terhadap kemungkinan ketercapaian dalam rumusan TIU itu, termasuk kendala-kendala yang akan dihadapi dalam melaksanakannya. Apabila ternyata tidak ditemukan kendala, maka TIU tersebut sudah dapat digunakan sebagai dasar pengembangan instruksional lebih lanjut. Namun jika ternyata akan diyakini memiliki kendala, maka TIU itu harus direvisi terlebih dahulu.



C- Taksonomi Tujuan Pendidikan

Kata taksonomi diambil dari bahasa Yunani tassein yang berarti untuk mengklasifikasi dannomos yang berarti aturan. Taksonomi dapat diartikan sebagai klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Hampir semua — benda bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian — dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi.[13] Dalam dunia pendidikan, taksonomi ini dibuat guna mengklasifikasikan tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan pada tahun 1956, sehingga sering pula disebut sebagai “Taksonomi Bloom”. Taksonomi tujuan pendidikan ini sangat penting bagi tenaga pendidik agar memperoleh hasil yang maksimal.

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa taksonomi tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan instruksional ke dalam tiga domain (ranah/kelompok), yaitu ranah kognitif (kognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor(psychomotor domain). Adapun Cognitive Domain (Ranah Kognitif) yakni yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Sementara Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Sedangkan Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,berenang, dan mengoperasikan mesin.

Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di atas di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu:cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, danpengamalan.

(1) Taksonomi Tujuan Kognitif

Taksonomi Bloom sangat dikenal di Indonesia, bahkan tampaknya yang paling terkenal dibandingkan dengan Taksonomi lainnya. Taksonomi Bloom mengelompokkan tujuan kognitif ke dalam enam kategori; yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Keenam kategori ini diasumsikan bersifat hierarkis; yang berarti tujuan pada level yang tinggi dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level yang lebih rendah telah dikuasai.[14] Keenam kategori ini secara umum akan dijelaskan berikut ini:

1. Pengetahuan/pengenalan.

Tujuan instruksional pada level ini menuntut peserta didik untuk mampu mengingat (recall) informasi yang telah diterima sebelumnya. Misalnya: fakta, terminology, rumus, strategi pemecahan masalah, dan sebagainya.

2. Pemahaman.

Tujuan pada kategori ini berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan pengetahuan/informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri. Kata kerja yang diperoleh harus operasional, dengan pengertian bahwa kompetensi dan perilaku tersebut dapat diukur unjuk kerjanya. Hal ini penting untuk menunjukkan apakah tujuan instruksional yang ditetapkan dapat tercapai atau tidak pada akhir pembelajaran.

3. Penerapan.

Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi atau konteks yang lain atau yang baru. Sebagai contoh, menyusun kuesioner penelitian untuk penulisan skripsi merupakan penerapan prinsip-prinsip penyusunan instrument penelitian yang sebelumnya telah dipelajari mahasiswa dalam mata kuliah metode penelitian.

4. Analisis

Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan, dan memeriksa setaip komponen tersebut untuk melihat ada tidaknya kontradiksi. Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari. Sebagai contoh, pembuatan kritik suatu karya literatur atau seni merupakan analisis. Tugas seperti ini memerlukan kemampuan analisis sebab menuntut peserta didik untuk membuat tanggapan terhadap berbagai aspek, seperti tema, plot, derajat realisme, dan sebagainya, serta melihat hubungan di antara aspek-aspek tersebut.

5. Sintesis

Tujuan instruksional level ini menuntut mahasiswa untuk mampu mengkombinasikan bagian atau elemen ke dalam satu kesatuan atau struktur yang lebih besar. Menulis esay tentang “Perwujudan Bhineka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia” merupakan contoh sintesis. Dalam hal ini mahasiswa harus melihat berbagai aspek social, budaya dan ekonomi dalam kelompok etnis. Misalnya system kekerabatan, system keagamaan, dan sebagainya, dan kemudian membandingkan perwujudan berbagai aspek tersebut dan membuat kesimpulan.

6. Evaluasi

Tujuan ini merupakan tujuan yang paling tinggi tingkatnya, yang mengharapkan mahasiswa mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk, atau benda dengan menggunakan kriteria terntu. Sebagai contoh, kemampuan mengevaluasi suatu program video apakah memenuhi syarat sebagai program instruksional yang baik atau tidak, merupakan tujuan tingkat evaluasi. Dalam hal ini mahasiswa harus mempertimbangkan dari segi isi, strategi, presentasi, budaya, karakteristik pengguna, dan sebagainya. Di samping itu kriteria program yang baik harus terlebih dahulu jelas bagi mahasiswa.

(2) Taksonomi Tujuan Afektif

Bagian berikut ini akan membahas tentang taksonomi tujuan afektif. Taksonomi afektif yang paling terkenal dikembangkan oleh Krathwohl, dkk. Pada dasarnya Krathwohl berusaha mengembangkan taksonomi ini ke dalam lima tingkat perilaku. Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964) mengembangkan taksonomi tujuan yang berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke dalam lima kelompok, yaitu:

· Pengenalan/Penerimaan (receiving)

· Pemberian respon (responding)

· Penghargaan terhadap nilai (valuing)

· Pengorganisasian (organization)

· Pengamalan (characterization)[15]

Pengelompokkan ini juga bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah (sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat paling tinggi. Makin tinggi tingkat tujuan dalam hierarkhi semakin besar pula keterlibatan dan komitmen seseorang terhadap tujuan tersebut.

1. Pengenalan/Penerimaan (receiving)

Tujuan instruksional kelompok ini mengharapkan mahasiswa untuk mengenal, bersedia menerima dan memperhatikan berbagai stimulus. Dalam hal ini mahasiswa masih bersikap pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja. Contoh kata kerja operasionalnya adalah: Mendengarkan, Menghadiri, Melihat, Memperhatikan, dan sebagainya.

2. Pemberian respon (responding)

Keinginan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda, atau system nilai, lebih daripada sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan prilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi, patuh atau memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta.

3. Penghargaan terhadap nilai (valuing)

Penghargaan terhadap suatu nilai merupakan perasaan, keyakinan atau anggapan bahwa suatu gagasan, benda atau cara berfikir tertentu mempunyai nilai (worth). Dalam hal ini mahasiswa secara konsisten berprilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak ada pihak lain yang meminta, atau mengharuskan. Nilai dan value ini dapat saja dipelajari dari orang lain. Misalnyan dosen, teman atau keluarga.

4. Pengorganisasian (organization)

Pengorganisasian menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai tertentu dalam suatus sistem nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dalam hal ini mahasiswa menjadi committed terhadap suatu sistem nilai. Dia diharapkan untuk mengorganisasikan berbagai nilai yang dipilihnya ke dalam satu sistem nilai, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai tersebut.

5. Pengamalan (characterization)

Pengamalan berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam suatu sistem nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku yang konsisten dengan sistem nilai tersebut. Pada tingkat ini mahasiswa bukan saja telah mencapai perilaku-perilaku pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, tetapi telah mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam suatu filsafat hidup yang lengkap dan menyakinkan, dan prilakunya akan selalu konsisten dengan filsafat hidup tersebut. Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari karakter.

Dari contoh-contoh tujuan afektif ini terlihat bahwa pada tingkat-tingkat yang tinggi (valuing, organization dan characterization) perilaku yang merupakan indikator tercapainya tujuan-tujuan tersebut overlapping dan tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Ini menunjukkan bahwa meskipun secara konseptual tingkat-tingkat tersebut dapat dipisahkan dan nampaknya mempunyai hubungan hierarkhis, perumusan tujuan tidak dapat dengan jelas dibedakan. Hal ini pula-lah yang membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak.

(3) Taksonomi Tujuan Psikomotor

Kawasan psikomotor pada tahun 1956 kurang mendapat perhatian dari Bloom dan kawan-kawannya karena mereka tidak percaya bahwa pengembangan tujuan dalam kawasan tersebut sangat berguna. Tetapi mereka menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam kawasan ini berkenaan dengan otot, keterampilan motorik, atau gerak yang membutuhkan koordinasi otot.[16]

Namun beberapa pakar lain berhasil mengembangkan taksonomi kawasan psikomotor, salah satunya dikembangkan oleh Harrow (1972). Taxonomy Harrow ini juga menyusun tujuan psikomotor secara hierarkhis dalam lima tingkat, mencakup tingkat meniru sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi sebagai yang paling kompleks.

1. Meniru (Immitation)

Tujuan instruksional pada tingkat ini mengharapkan mahasiswa untuk dapat meniru suatu prilaku yang dilihatnya.

2. Manipulasi (Manipulation)

Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan untuk melakukan suatu prilaku tanpa bantuan visual, sebagaimana pada tingkat meniru. Mahasiswa diberi petunjuk berupa tulisan atau instruksi verbal, dan diharapkan melakukan tindakan (prilaku) yang diminta. Contoh kata kerja yang digunakan sama dengan untuk kemampuan meniru.

3. Ketetapan Gerakan (Pecision)

Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang, dan akurat.

4. Artikulasi (Artikulation)

Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat.

5. Naturalisasi (Naturalization)

Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan gerakan tertentu secara spontan atau otomatis. Mahasiswa melakukan gerakan tersebut tanpa berfikir lagi cara melakukannya dan urutannya.

Dari ketiga kawasan tujuan pendidikan di atas, yang paling banyak mendapatkan perhatian pada jenjang pendidikan tinggi adalah kawasan kognitif. Di dalam kawasan kognitif yang paling penting adalah jenjang analisis sintesis dan evaluasi, karena sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah.

Tapi sesungguhnya pengklasifikasian ini tidak dimaksudkan untuk memilah-milah prilaku manusia seperti halnya kita mencopoti kursi menjadi bagian-bagiannya, melainkan hanyalah sebagai usaha pakar dalam menganalisis prilaku peserta ddik agar memungkinkan pengembangan usaha-usaha pendidikan secara lebih sistematis. Dan dengan mengetahui titik berat kawasan prilaku tersebut, tenaga pendidik dapat menyusun rencana dan program pendidikan yang lebih terarah kepada tujuan pendidikan yang dimaksud dan lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik.



D- Penutup

Demikianlah sekilas pembahasan tentang Tujuan Instruksional Umum yang dapat penulis utarakan pada kesempatan kali ini. Dan diakhir tulisan ini, ada beberapa kesimpulan yang dapat kita rangkum, di antaranya:

1. Tujuan instruksional merupakan tujuan yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur. Sedangkan tujuan instruksional umum (TIU) merupakan suatu kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional untuk memperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh peserta didik, (yang mana) jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar.

2. Tujuan instruksional dikelompokkan dalam tiga kawasan, yaitu kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor. Adapun tujuan pengklasifikasian ini merupakan usaha pakar dalam menganalisis prilaku peserta ddik agar memungkinkan pengembangan usaha-usaha pendidikan secara lebih sistematis.

3. Perumusan tujuan instruksional yang jelas, terukur, dan dapat diamati menjadi semakin penting untuk dapat menentukan apakah suatu proses belajar-mengajar mencapai tujuan atau tidak. Di antara cara merumuskan tujuan instruksional secara tepat adalah sebagai berikut: (1) Menyebutkan pelaku/audience; yaitu peserta didik; (2) Menggunakan istilah “akan dapat” yang menunjukkan bahwa peserta didik mulai belajar; (3) Memilih kata kerja aktif dan dapat diamati; (4) Menyebutkan kompetensi atau prilaku akhir yang diharapkan dapat dicapai peserta didik.

4. Mengingat bahwa pada kenyataannya terjadi interaksi antara faktor kognitif, afektif, dan psikomotor dalam pembelajaran, jika relevan, dalam penyusunan tujuan instruksional pengintegrasian jenis-jenis tujuan tersebut perlu dilakukan.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...