Pages

Rabu, 10 April 2013

Ujian Nasional dan Kompetensi lulusan

Saat yang menegangkan bagi siswa dan guru adalah saat menghadapi detik-detik UN 2013. Berbagai persiapan tentu saja sudah dilakukan oleh siswa, guru maupun orang tua untuk mensukseskan even nasional yang hanya berlangsung 4 hari itu. Tidak ketinggalan persiapan pun  dilakukan oleh dinas-dinas pendidikan dari kecamatan ,sampai propinsi. Mereka saling berlomba untuk menyiapkan tingkat kelulusan tertinggi. Namun ternyata ada juga yang melakukan trik-trik kurang baik dalam mensiasati kelulusan siswa. Bahkan guru pun yang justru kadang-kadang memakai segala cara agar anak didiknya bisa lulus. Ada semacam ketakutan ketika siswa tidak ada yag lulus. Ketakutan yang kadang-kadang membuat moralitas dipertaruhkan. Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, keihlasan yang diajarkan selama 3 tahun seolah hangus dan tidak ada moralitas kejujuran dalam waktu 4 hari. Memang kenyataan ini sungguh ironis dan dilematik bagi guru itu sendiri. Seperti inikah yang akan dilakukan dari tahun ketahun untuk dalam mengejar kelulusan tersebut? 


UN memiliki banyak kontroversi, mulai dari soal yang bocor, anak-anak yang sangat terbebani oleh UN, hingga pandangan bahwa ujian selama tiga hari tidaklah valid untuk menentukan prestasi belajar siswa selama tiga tahun. Jadi UN seperti ini tidak cocok untuk mengukur kompetensi anak dengan tujuan lulus atau tidak. Alasannya:
• Dalam teorinya, kemampuan anak itu seluas samudera, yakni psiko-afektif, psiko-motorik dan psiko-kognitif. Psiko-afektif itu adalah respon atau perilaku. Psikomotorik adalah kemampuan anak untuk berani tampi dan membuat karya. Sedangkan psiko-kognitif adalah kemampuan olah pikir untuk menyelesaikan masalah. Nah, UN saat ini hanya mengukur satu ranah saja, yaitu psiko-kognitif, tanpa memperhatikan 2 ranah kemampuan yang cukup besar, yaitu psiko-motorik dan psiko-afektif. Jadi jika UN bertujuan sebagai standar mengukur kemampuan siswanya, pertanyaannya, kemampuan yang mana? Sedangkan kemampuan kognitif juga luas maknanya, bukan direduksi menjadi soal-soal pilihan ganda seperti yang terdapat dalam UN saja.
• Dalam konten soalnya. Kemampuan kognitif seseorang yang dapat dilihat dari konten soal harus mempunyai lebih dari 2 kriteria penilaian. Soal yang hanya mempunyai satu kriteria penilaian, maka itu bukan soal, tapi kuis. Kuis hanya mempunyai satu rubrrik penilaian, yaitu benar dan salah. YN jenisnya pilihan ganda dan mempunyai satu rubrik penilaian,  yaitu benar dan salah. Jadi dapat dikatakan UN secara konten adalah kuis. Mestinya benar dan salah dapat hadiah.
• Periode menilai kemampuan siswa. Kemampuan siswa dalam proses belajar mestinya tidak hanya dipotret pada akhir pembelajaran. Proses pembelajaran jauh lebih penting dan bermakna untuk mengukur kemampuan anak. Nah, waktu UN yang hanya 4 hari dan hasilnya tiba-tiba dipaksa mewakili proses belajar 3 tahun di SMA, saya pikir kurang adil. Sebab, proses belajar tidak diperhatikan dan tidak bermakna. Akhirnya, betapa banyak siswa yang mengambil jalan pintas untuk lulus ujian nasional. Demikian juga sekolah, berlomba-lomba menjadikan lulus ujian adalah hakekat tujuan dari sekolah.
Jadi, UN tidak tepat dan tidak efektif jika dijadikan standar kelulusan, Pasti akan banyak dampak-dampak negatif dalam proses belajar. Mestinya yang paling berhak meluluskan itu adalah orang yang mengetahui betul tiga ranah kompetensi secara komprehensif para siswanya. Siapa mereka? Mereka adalah guru yang langsung mengajar anak-anak kita. Merekalah yang paling dekat dan mengetahui kompetensi siswanya. Para gurulah yang mempunyai penilaian otentik atas siswanya. Dan otomatis, semua proses pembelajaran dari hari pertama sampai hari terakhir akan dinilai.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...