Saat yang menegangkan bagi siswa dan guru adalah saat menghadapi detik-detik UN 2013. Berbagai persiapan tentu saja sudah dilakukan oleh siswa, guru maupun orang tua untuk mensukseskan even nasional yang hanya berlangsung 4 hari itu. Tidak ketinggalan persiapan pun dilakukan oleh dinas-dinas pendidikan dari kecamatan ,sampai propinsi. Mereka saling berlomba untuk menyiapkan tingkat kelulusan tertinggi. Namun ternyata ada juga yang melakukan trik-trik kurang baik dalam mensiasati kelulusan siswa. Bahkan guru pun yang justru kadang-kadang memakai segala cara agar anak didiknya bisa lulus. Ada semacam ketakutan ketika siswa tidak ada yag lulus. Ketakutan yang kadang-kadang membuat moralitas dipertaruhkan. Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, keihlasan yang diajarkan selama 3 tahun seolah hangus dan tidak ada moralitas kejujuran dalam waktu 4 hari. Memang kenyataan ini sungguh ironis dan dilematik bagi guru itu sendiri. Seperti inikah yang akan dilakukan dari tahun ketahun untuk dalam mengejar kelulusan tersebut?
UN memiliki banyak kontroversi, mulai dari soal yang bocor,
anak-anak yang sangat terbebani oleh UN, hingga pandangan bahwa ujian
selama tiga hari tidaklah valid untuk menentukan prestasi belajar siswa
selama tiga tahun. Jadi UN seperti ini tidak cocok untuk mengukur
kompetensi anak dengan tujuan lulus atau tidak. Alasannya:
• Dalam
teorinya, kemampuan anak itu seluas samudera, yakni psiko-afektif,
psiko-motorik dan psiko-kognitif. Psiko-afektif itu adalah respon atau
perilaku. Psikomotorik adalah kemampuan anak untuk berani tampi dan
membuat karya. Sedangkan psiko-kognitif adalah kemampuan olah pikir
untuk menyelesaikan masalah. Nah,
UN saat ini hanya mengukur satu ranah saja, yaitu psiko-kognitif,
tanpa memperhatikan 2 ranah kemampuan yang cukup besar, yaitu
psiko-motorik dan psiko-afektif. Jadi jika UN bertujuan sebagai standar
mengukur kemampuan siswanya, pertanyaannya, kemampuan yang mana?
Sedangkan kemampuan kognitif juga luas maknanya, bukan direduksi menjadi
soal-soal pilihan ganda seperti yang terdapat dalam UN saja.
• Dalam
konten soalnya. Kemampuan kognitif seseorang yang dapat dilihat dari
konten soal harus mempunyai lebih dari 2 kriteria penilaian. Soal yang
hanya mempunyai satu kriteria penilaian, maka itu bukan soal, tapi kuis.
Kuis hanya mempunyai satu rubrrik penilaian, yaitu benar dan salah. YN
jenisnya pilihan ganda dan mempunyai satu rubrik penilaian, yaitu benar
dan salah. Jadi dapat dikatakan UN secara konten adalah kuis. Mestinya
benar dan salah dapat hadiah.
• Periode
menilai kemampuan siswa. Kemampuan siswa dalam proses belajar mestinya
tidak hanya dipotret pada akhir pembelajaran. Proses pembelajaran jauh
lebih penting dan bermakna untuk mengukur kemampuan anak. Nah,
waktu UN yang hanya 4 hari dan hasilnya tiba-tiba dipaksa mewakili
proses belajar 3 tahun di SMA, saya pikir kurang adil. Sebab, proses
belajar tidak diperhatikan dan tidak bermakna. Akhirnya, betapa banyak
siswa yang mengambil jalan pintas untuk lulus ujian nasional. Demikian
juga sekolah, berlomba-lomba menjadikan lulus ujian adalah hakekat
tujuan dari sekolah.
Jadi, UN tidak
tepat dan tidak efektif jika dijadikan standar kelulusan, Pasti akan
banyak dampak-dampak negatif dalam proses belajar. Mestinya yang paling
berhak meluluskan itu adalah orang yang mengetahui betul tiga ranah
kompetensi secara komprehensif para siswanya. Siapa mereka? Mereka
adalah guru yang langsung mengajar anak-anak kita. Merekalah yang paling
dekat dan mengetahui kompetensi siswanya. Para gurulah yang mempunyai
penilaian otentik atas siswanya. Dan otomatis, semua proses pembelajaran
dari hari pertama sampai hari terakhir akan dinilai.